Skip to main content

Mahasiswa S-2 dan S-3 rentan gangguan jiwa

Kasus-kasus bunuh diri di kalangan mahasiswa S2 dan S3 mengejutkan masyarakat. Masyarakat menilai mahasiswa strata lanjut ini dianggap sebagai kumpulan manusia yang hebat, sehingga dianggap kebal penyakit.
Kesehatan jiwa sampai saat ini kurang ditanggapi serius oleh masyarakat. Mungkin masyarakat menilai penyakit jiwa kurang berbahaya dibanding, katakanlah, kanker, AIDS, TBC dan DM, serta kini: Covid-19.
Stigma negatif orang yang bermasalah dengan kesehatan jiwanya adalah orang gila yang tidak mampu mengelola beban hidupnya: Ah, itu karena kurang imannya. Cengeng. Gitu saja mengeluh. Demikian ucapan-ucapan negatif yang sering terdengar di kalangan masyarakat luas.
Mengapa hanya mahasiswa S2 dan S3 saja yang terdampak, apakah mahasiswa S1 tidak terpengaruh kesehatan jiwanya dengan beban kuliahnya? Nah untuk pertanyaan ini perlu baca-baca lagi jurnal kesehatan lebih banyak.

Kesehatan Fisik dan Psikis: perspektif statistik

  • Penelitian yang melibatkan sampel sejumlah 3.659 mahasiswa di Universitas Flanders Belgia menyimpulkan bahwa sepertiga mahasiswa S3 mengalami gangguan mental berupa depresi. Kesehatan mental dapat berkembang menjadi ancaman serius bila tidak segera mendapat penanganan yang baik. Keseharian mahasiswa tersebut diketahui, antara lain: ketegangan pikiran, muram, kurang tidur, dan depersi. Ditengarai penyebab utama gangguan jiwa tersebut karena ketidakmampuan menangani urusan domestik (rumah tangga) karena bentrok dengan komitmen mengejar tenggat tugas kuliah (Pain, 2017).

  • Menurut Teresa Evans dkk (2018) dalam jurnal Nature Biotech, para mahasiswa S2 dan S3 mengalami gangguan psikis berupa depresi dan kecemasan 6 kali lebih tinggi daripada masyarakat umum. Penelitian Evans dkk meliputi sampel sejumlah 2.279 mahasiswa dari 26 negara, menyebutkan bahwa 40% sampel menunjukkan depresi level medium sampai berat, begitupun untuk kecemasan (Pain, 2018).

Solusi

  • Peran promotor (dosen pembimbing) yang menginspirasi dan terus menyemangati diklaim dapat memberi hasil yang positif bagi mahasiswa(Pain, 2017).

  • Mengubah gaya hidup lebih sehat. Penjelasannya bisa disimak di sini

Daftar Pustaka

Pain, E. (2017). Ph.D. students face significant mental health challenges. Science. https://doi.org/10.1126/science.caredit.a1700028

Pain, E. (2018). More than one-third of graduate students report being depressed. Nature, 555(691). https://doi.org/10.1038//d41586-018-03803-3

Comments

Popular posts from this blog

Don't Become a Scientist!

Apakah Anda berpikir untuk menjadi seorang ilmuwan? Apakah Anda ingin mengungkap misteri alam, melakukan eksperimen atau melakukan perhitungan untuk mempelajari cara kerja dunia? Lupakan! Sains itu menyenangkan dan mengasyikkan. Sensasi penemuan itu unik. Jika Anda cerdas, ambisius dan pekerja keras, Anda harus mengambil jurusan sains sebagai sarjana. Tapi cukup segitu saja. Setelah lulus, Anda harus berurusan dengan dunia nyata. Itu berarti Anda tidak perlu mempertimbangkan untuk lulus sekolah dalam sains. Sebaliknya, lakukan sesuatu yang lain: sekolah kedokteran, sekolah hukum, komputer atau teknik, atau sesuatu yang menarik bagi Anda. Mengapa saya (seorang profesor fisika) mencoba untuk mencegah Anda dari mengikuti jalur karier yang berhasil bagi saya? Karena zaman telah berubah (saya menerima gelar Ph.D saya pada tahun 1973, dan resmi jadi ilmuwan tahun 1976). Ilmu pengetahuan Amerika tidak lagi menawarkan jalur karier yang masuk akal. Jika Anda lulus sekolah sains, itu ber

Fakta dan Data Parkinsonismus

Sudah sejak awal 2016 bergaul akrab dengan Parkinsonismus, ada beberapa informasi dan pengalaman yang ingin saya bagi. Gejala Semua jenis Parkinsonismus atau sindrom Parkinson gejala utamanya terdiri atas trias tremor-rigiditas-bradikinesia, dapat diobati dengan terapi penyakit Parkinson (Nuartha, 2015, hal. 335). Penyebab Trauma kepala K eracunan obat-obatan (terutama antibiotika) dosis tinggi Dan lain-lain yang belum jelas: psikis, degeneratif. Terapi Obat-obatan Campuran Lepodova (L-dova) dan Benserazide HCl dengan merk dagang Levopar atau Madopar. THP diberikan untuk mengurangi tremor (merk dagang Hexymer). Pramepexol (merk dagang Sifrol) bisa juga disertakan dalam dosis yang diawasi ketat (Nuartha, 2015, hal. 337). Dari 3 jenis obat di atas, Sifrol-lah (0,375 mg), yang paling patut dicemaskan. Satu blister, 10 tablet, seharga (sekitar) Rp.300.000, lumayan bila sehari 1 tablet maka 1 bulan mesti sedia Rp.900.000-an. THP dan Lepodova masih cukup terjangkau di merk-merk terten